Jumat, 13 Februari 2015



Beribadah Sebagai Bukti Rasa Syukur
Alloh menciptakan manusia dalam bentuknya yang sempurna, memiliki panca indra yang memungkinkan dirinya untuk merasakan dunia di sekelilingnya, membimbingnya menuju jalan yang benar, menciptakan air segar dan makanan yang berlimpah yang kesemuanya itu ditujukan untuk kesenangan manusia. Setiap orang yang berdoa dan berbuat baik disebut bersyukur kepada Alloh sebab orang-orang yang mengingkari nikmat Alloh pasti juga tidak pernah ingat kepada Alloh.
Bersyukur hanya disaat menerima nikmat besar saja tidak akan berarti, itulah sebabnya orang mukmin hendaknya tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Alloh. Berterima kasih kepada sesama manusia untuk menunjukkan perasaan senang dan menghargai atas pemberiannya dan menggunakan pemberiannya itu sebagaimana mestinya. Adapun bersyukur (berterima kasih) kepada Alloh sebagai pengakuan bahwa semua kenikmatan itu adalah pemberian dari Alloh dan selanjutnya pemberian itu digunakan pada apa yang Alloh kehendaki, inilah yang disebut sebagai syukur.
Hanya saja, sebagai manusia kita sering lupa terhadap beragam nikmat dan karunia Allah Ta’ala tersebut, sehingga kita senantiasa mengeluh dengan problematika kehidupan kita. Keadaan ini sering menghinggapi kita baik secara sadar ataupun tidak sadar. Allah Subhanahu Wata’ala sendiri juga mengemukakan hal ini, yakni sifat mengeluh merupakan tabiat seorang manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’arij (70) ayat 19-20, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah.”
Oleh karenanya, marilah kita menjadi seorang muslim yang senantiasa menyadari bahwa nikmat dari Allah Ta’ala hakekatnya sangat banyak. Sehingga, begitu banyaknya nikmat-Nya tersebut seorang manusia tidak akan mungkin sanggup untuk menghitungnya. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat ke-18, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha pengampun, Maha Penyayang.”
Menurut ayat tersebut, jangankan menghitung nikmat, mengkategorikannya saja tidak mungkin sebab nikmat Alloh tidak terbatas banyaknya, karenanya seorang mukmin tidak seharusnya menghitung nikmat, melainkan berdzikir dan mewujudkan rasa syukurnya. Anggapan kebanyakan orang, bersyukur kepada Alloh hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan anugerah besar atau terbebas dari masalah besar adalah keliru, padahal jika mau merenung sebentar saja, mereka akan menyadari bahwa mereka dikelilingi oleh nikmat yang tidak terbatas banyaknya, setiap waktu, setiap saat, tercurah kenikmatan tidak terhenti, seperti hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup dan lain-lainnya. Namun, tidak sedikit manusia yang lalai untuk selalu bersyukur, bahkan nikmat yang Alloh SWT turunkan justru menjadikannya berlaku sombong di atas bumi ini, mereka inilah yang telah terkena bisikan dari setan, kaumnya dan pengikutnya.
Seharusnya kita juga semakin sadar bahwa, segala kelebihan dan kemudahan yang kita rasakan sekarang tak lain hanya dikarenakan kasih sayang-Nya yang begitu melimpah. Tanpa santunan dari Allah Ta’ala, manusia tidak mungkin mampu untuk bertahan hidup. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman mengenai hal ini dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl (16) ayat ke-53 yang maknanya, “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.”
Ibadah secara umum dapat dipahami sebagai wujud penghambaan diri seorang makhluk kepada Sang Khaliq-nya. Penghambaan itu lebih didasari pada perasaan syukur atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh Alloh kepadanya. Kunci iman adalah ibadah, benar tidaknya ibadah seseorang sangat berpengaruh terhadap benar tidaknya imannya, dengan kata lain bila iman terpelihara maka dengan sendirinya ibadah pun berdampak teratur. Kita menyadari bahwa hakikat hidup manusia dan tujuan Alloh menciptakan manusia adalah untuk mengabdi hanya kepada-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam Al Quran surat Adz Dzariyat (51) ayat ke-56, Alloh Subhanahu Wata’ala berfirman: “Tiadalah Aku (Alloh) menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” .
Sahabat Nabi yang mendapat julukan gerbang ilmu Rasulullah, yakni Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra mengelompokkan kedalam tiga model ibadah yang dilakukan umat islam yaitu :
Ibadah Al Tujjar (Ibadahnya Pedagang)
Sebagian kita jumpai orang melaksanakan ibadah karena mengharap keuntungan, bahwa disuatu saat nanti Alloh SWT akan membayar hasil ibadah dengan pahala sehingga termotivasi beribadahnya ingin mendapatkan pahala dan ingin masuk Surga. Menurut Ali bin Abi Thalib ra, orang yang beribadah kepada Alloh SWT karena mengharap imbalan itu adalah ibadahnya para pedagang, karena ibadahnya pedagang senantiasa yang terlintas dalam benak pikirannya adalah menghitung untung rugi.
Ibadah Al Abid (Ibadahnya Hamba Sahaya)
Ibadah hamba sahaya adalah orang yang melaksanakan ibadahnya karena takut dengan siksaan Alloh SWT, takut menghadapi azab pedih api neraka. Ali bin Abi Thalib ra menyatakan orang yang beribadah kepada Alloh SWT karena takut siksa api neraka, adalah ibadahnya hamba sahaya, dimana hamba sahaya atau budak belian, akan melaksanakan sesuatu ketika diperintahkan oleh majikannya dan meninggalkan suatu pekerjaan bila dilarang majikannya.
Ibadah Asy Syakirin (Ibadahnya Hamba Alloh yang Bersyukur)
Ibadahnya orang-orang yang bersyukur kepada Alloh SWT, menurut Ali bin Abi Thalib ra, model ibadah inilah yang sebenarnya, dimana ibadah yang dilakukan didasari atas rasa syukur kepada Alloh SWT atas segala nikmat, anugerah dan karunia-Nya. Ibadah yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya karena cintanya kepada Alloh SWT, Ibadah yang dilaksanakan karena ada kerinduan kepada Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Indah, Yang Maha pemberi Nikmat, yang senantiasa penuh kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya. Alloh SWT, tidak pernah berhenti memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, nikmat dan anugerah-Nya terhampar dan berlimpah ruah di alam semesta ini, semua ciptaan-Nya diperuntukkan kepada semua hamba-Nya baik yang taat maupun yang durhaka sekalipun tiada luput dari pemberian-Nya.[]
Waullahu a’lam.