Beribadah Sebagai
Bukti Rasa Syukur
Alloh menciptakan manusia dalam
bentuknya yang sempurna, memiliki panca indra yang memungkinkan dirinya untuk
merasakan dunia di sekelilingnya, membimbingnya menuju jalan yang benar,
menciptakan air segar dan makanan yang berlimpah yang kesemuanya itu ditujukan
untuk kesenangan manusia. Setiap orang yang berdoa dan berbuat baik disebut
bersyukur kepada Alloh sebab orang-orang yang mengingkari nikmat Alloh pasti
juga tidak pernah ingat kepada Alloh.
Bersyukur hanya disaat menerima
nikmat besar saja tidak akan berarti, itulah sebabnya orang mukmin hendaknya
tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Alloh. Berterima kasih kepada sesama
manusia untuk menunjukkan perasaan senang dan menghargai atas pemberiannya dan
menggunakan pemberiannya itu sebagaimana mestinya. Adapun bersyukur (berterima
kasih) kepada Alloh sebagai pengakuan bahwa semua kenikmatan itu adalah
pemberian dari Alloh dan selanjutnya pemberian itu digunakan pada apa yang
Alloh kehendaki, inilah yang disebut sebagai syukur.
Hanya saja, sebagai manusia kita
sering lupa terhadap beragam nikmat dan karunia Allah Ta’ala tersebut, sehingga kita senantiasa mengeluh
dengan problematika kehidupan kita. Keadaan ini sering menghinggapi kita baik
secara sadar ataupun tidak sadar. Allah Subhanahu Wata’ala sendiri
juga mengemukakan hal ini, yakni sifat mengeluh merupakan tabiat seorang
manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’arij (70) ayat 19-20, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia
ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah.”
Oleh karenanya, marilah kita menjadi seorang muslim yang
senantiasa menyadari bahwa nikmat dari Allah Ta’ala
hakekatnya sangat banyak. Sehingga, begitu banyaknya nikmat-Nya tersebut
seorang manusia tidak akan mungkin sanggup untuk menghitungnya. Dalam Al-Qur’an
surat An-Nahl (16) ayat ke-18, Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.
Sungguh, Allah benar-benar Maha pengampun, Maha Penyayang.”
Menurut ayat tersebut, jangankan
menghitung nikmat, mengkategorikannya saja tidak mungkin sebab nikmat Alloh
tidak terbatas banyaknya, karenanya seorang mukmin tidak seharusnya menghitung
nikmat, melainkan berdzikir dan mewujudkan rasa syukurnya. Anggapan kebanyakan
orang, bersyukur kepada Alloh hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan
anugerah besar atau terbebas dari masalah besar adalah keliru, padahal jika mau
merenung sebentar saja, mereka akan menyadari bahwa mereka dikelilingi oleh
nikmat yang tidak terbatas banyaknya, setiap waktu, setiap saat, tercurah
kenikmatan tidak terhenti, seperti hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra,
udara yang dihirup dan lain-lainnya. Namun, tidak sedikit manusia yang lalai
untuk selalu bersyukur, bahkan nikmat yang Alloh SWT turunkan justru
menjadikannya berlaku sombong di atas bumi ini, mereka inilah yang telah
terkena bisikan dari setan, kaumnya dan pengikutnya.
Seharusnya kita juga semakin sadar bahwa, segala kelebihan dan
kemudahan yang kita rasakan sekarang tak lain hanya dikarenakan kasih
sayang-Nya yang begitu melimpah. Tanpa santunan dari Allah Ta’ala, manusia tidak mungkin
mampu untuk bertahan hidup. Allah Subhanahu
Wata’ala berfirman mengenai hal ini dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl
(16) ayat ke-53 yang maknanya, “Dan segala
nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa
kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.”
Ibadah secara umum dapat dipahami sebagai wujud
penghambaan diri seorang makhluk kepada Sang Khaliq-nya. Penghambaan itu lebih
didasari pada perasaan syukur atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh
Alloh kepadanya. Kunci iman adalah ibadah, benar tidaknya ibadah seseorang
sangat berpengaruh terhadap benar tidaknya imannya, dengan kata lain bila iman
terpelihara maka dengan sendirinya ibadah pun berdampak teratur. Kita
menyadari bahwa hakikat hidup manusia dan tujuan Alloh menciptakan manusia
adalah untuk mengabdi hanya kepada-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam Al
Quran surat Adz Dzariyat (51) ayat ke-56, Alloh Subhanahu Wata’ala berfirman: “Tiadalah Aku (Alloh) menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” .
Sahabat Nabi yang mendapat julukan gerbang ilmu
Rasulullah, yakni Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra mengelompokkan kedalam tiga
model ibadah yang dilakukan umat islam yaitu :
Ibadah Al
Tujjar (Ibadahnya Pedagang)
Sebagian kita jumpai orang melaksanakan ibadah karena
mengharap keuntungan, bahwa disuatu saat nanti Alloh SWT akan membayar hasil
ibadah dengan pahala sehingga termotivasi beribadahnya ingin mendapatkan pahala
dan ingin masuk Surga. Menurut Ali bin Abi Thalib ra, orang yang beribadah
kepada Alloh SWT karena mengharap imbalan itu adalah ibadahnya para pedagang,
karena ibadahnya pedagang senantiasa yang terlintas dalam benak pikirannya
adalah menghitung untung rugi.
Ibadah Al Abid (Ibadahnya
Hamba Sahaya)
Ibadah hamba sahaya adalah orang yang melaksanakan
ibadahnya karena takut dengan siksaan Alloh SWT, takut menghadapi azab pedih
api neraka. Ali bin Abi Thalib ra menyatakan orang yang beribadah kepada Alloh
SWT karena takut siksa api neraka, adalah ibadahnya hamba sahaya, dimana hamba
sahaya atau budak belian, akan melaksanakan sesuatu ketika diperintahkan oleh
majikannya dan meninggalkan suatu pekerjaan bila dilarang majikannya.
Ibadah Asy
Syakirin (Ibadahnya Hamba Alloh yang Bersyukur)
Ibadahnya
orang-orang yang bersyukur kepada Alloh SWT, menurut Ali bin Abi Thalib ra,
model ibadah inilah yang sebenarnya, dimana ibadah yang dilakukan didasari atas
rasa syukur kepada Alloh SWT atas segala nikmat, anugerah dan karunia-Nya.
Ibadah yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya karena cintanya kepada Alloh SWT,
Ibadah yang dilaksanakan karena ada kerinduan kepada Yang Maha Penyayang, Yang
Maha Pengasih, Yang Maha Indah, Yang Maha pemberi Nikmat, yang senantiasa penuh
kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya. Alloh SWT, tidak pernah berhenti
memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, nikmat dan anugerah-Nya terhampar dan
berlimpah ruah di alam semesta ini, semua ciptaan-Nya diperuntukkan kepada
semua hamba-Nya baik yang taat maupun yang durhaka sekalipun tiada luput dari
pemberian-Nya.[]
Waullahu a’lam.